Tips Membangun Karakter dalam Cerita ala Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

| Tuesday, December 5, 2017
Read more »
Ada yang pernah dengar ‘four windows of self’? Ini dikenal juga dengan ‘Johari window’, cari deh. Ini adalah teori kepribadian yang pada intinya menjelaskan bahwa ada empat ‘jendela’ pada setiap manusia. Jendela pertama adalah diri kita yang kita ketahui, dan orang-orang juga tahu mengenai sisi kita yang ini. Jendela kedua adalah hal-hal yang bisa dilihat orang lain, tapi kita sendiri gak sadar bahwa sisi ini ada dalam diri kita. Jendela ketiga kebalikan jendela kedua–sisi diri yang kita sembunyikan dari orang lain; hanya kita sendiri yang tahu. Dan jendela keempat adalah kebalikan dari jendela pertama–sesuatu yang gak diketahui oleh orang lain, maupun diri kita sendiri.

Anyway, ini basically sama dengan Strawberry Test di post sebelum ini, tapi agak lebih meticulous aja. Go ahead, read and regret.
image
Nah, untuk memudahkan kalian membangun karakter, kalian bisa mencoba menyusun karakter berdasarkan empat jendela ini. I’ll try to compose questions so you can build a person for each window, ya? You can use it to help you, of course.

Nah, kali ini kita akan mengajak Adelfo saja karena kalau semuanya jawab pertanyaan bakal puanjang cerita kita. Tapi cast WW (sekali lagi, Wonderworks, bukan White Wedding /slap) juga akan saya panggil (siing…). Sila sila dilanjutkan bacanya. 
SUMMARY, CONCLUSION, DAN SARAN LAIN (plus building characters make-easy) ADA DI AKHIR POST.
Pertama-tama, kita buat profil basic-nya dulu. Windows ada untuk membuat kedalaman karakter, tapi kita tetap perlu karakternya dulu kan? Nah, buat aja profil kayak kalau kalian diminta nulis biodata di buku teman-teman waktu jaman SD… wait, apa waktu kalian SD hal ini gak nge-trend lagi? *sobs*

It’s like this (P.S. I’ll mix up a bit data I used for him in Down the Little Abbey. It doesn’t matter if you don’t or if you do; this is just in case you’re like me, love to recycle characters… or actually making them fanfic LOL) (data from DLA would be in italic):
  • First name: Adelfo
  • Surname(s): English, Clarke, d’Or, Forbes
  • Birth date: [...wait ini belum ada ya sebelumnya D: I’ll say…] 27 Jan*
  • Hair: jet black
  • Eyes: blue
  • Nationality: English
  • Relatives: Allister English (step father in WW, bio in DLA), Mr & Mrs Forbes (bio parents), Elrio & Fontis d’Or (step parents), Emily Clarke [Zoe Marshall] (sister), Ivan Forbes (maternal half-brother), Roberta Evelyn Forbes [née Foster] (sister-in-law), Noel & Maria Forbes (niblings), Carl d’Or (son)

Now let’s do some building!
image
FIRST WINDOW adalah pribadi yang diketahui semua orang. Jadi basically, ini adalah hal-hal yang sangat mendasar. You can ask these questions:
  1. What’s your FIRST IMPRESSION of Adelfo?
  2. How’s his general mood?
  3. What situation would you like to be in with Adelfo?
  4. What 5 words would you use to describe him in general?
  5. After you get to know him closer, how do you feel about him?
  6. What’s the most surprising thing he’d ever done (either for you or someone else)?
  7. What do you think is his best and worse quality?
  8. Do you think you’ll ever find yourself hating him?
You can take most characters in WW, and you can assume that they’d generally answer pretty similarly. You can imagine them answering like this:
  1. I think he’s intimidating, sombre, and downright scary. [Ab]
  2. Gloomy, unhappy, extremely tired, and ceaselessly bothered. [R]
  3. In very, very grave situation. [H]
  4. Forever-alone, 40-year-old-virgin, I-think-you’re-a-hag, okay-you’re-smart-but-you’re-freaking-annoying, gonna-die-of-murder-and-I-might-be-the-one-committing-it. What? I consider those as five words. [Ax]
  5. I think he has reason to be endlessly troubled, a good one for that. Instead of being irritated, he just makes me feel sympathetic now. [B]
  6. He helps. [H]
  7. He’s extremely intelligent, but he’s extremely cocky. [R]
  8. Surprisingly, no. [Ax]
So the answers would generally sound the same, and you can produce a conclusive result: He’s not at all cheerful, very smart, irritating and cold, but somehow lovable. Now what you do is finding reason for each of these traits, like in The Strawberry Test–or, you can go to the third and fourth window.

Sebetulnya ada daftar kata sifat dalam Johari window yang bisa kalian pilih randomly untuk karakter kalian–this will help terutama di first window karena ini adalah hal-hal yang sangat basic. Misalnya, kalau Axel waras dan menjawab pertanyaan nomor 4 seperti orang normal, mungkin kira-kira begini jawabannya: knowledgeable, introverted, tense, confident, and bold. Ini traits yang gampang digunakan untuk membuat karakter  c(’u’ c) Kalian bisa coba mix and match 5 kata sifat untuk membuat surface, tapi lalu kalian perlu memperdalam si karakter. That’s where we’re going:

image
JENDELA KEDUA adalah sisi seseorang yang tidak diketahui oleh dirinya, tapi diketahui oleh orang lain. Secara mudahnya, ini adalah habit yang kita lakukan tanpa sadar. Kalaupun kita diberitahu, kemungkinan besar akan melakukan denial–entah pada akhirnya akan diterima atau tidak, depends on apakah kita akan sadar or not.

I think untuk jendela ini, pertanyaan yang ditanyakan lebih baik menggambarkan situasi:
  1. You’re in the middle of a very serious discussion. His tongue slipped and he spoke some words wrongly. What would he do?
  2. You’re with some friends, talking idly. You arrived at a certain topic you know he doesn’t like to talk about. What would he do?
  3. You’re in cafeteria, and there’s a line for buffet. What does he do?
  4. The list of winners are announced, and his name’s not there. How would he react?
  5. He FINALLY got the dream job. How would he react?
  6. In that same day as [5], his biggest crush ever asked him out. In what situation was he the happier?
  7. His dog is old and sick. People said he should send the dog off. How would he react?
  8. His favorite song’s played in the cafe. What would he do?
We don’t need other characters to answer yea, ini situational questions. But do wonder: What do others notice of your character when he/she’s faced in this certain situation? Try picking many sample situations. Misalnya 1-8 di atas: embarrassment, discomfort, social conduct, failure/disappointment, happy, priority, hardship and facing difficult choices, mild pleasure. Would he blush and get all nervous with continuous sorry, or would he brush it off and resume the conversation coolly after an apology? Would he turn his head and get all silent, or would he try to divert the topic? Would he wait or cut the line, would he chat, and what would he pick first? etc.

Make note that meskipun jendela kedua (a.k.a. Blindspot) ini adalah hal-hal yang diketahui orang lain, jangan menutup kemungkinan bahwa sang karakter subtly noticed hints of that unconscious behavior of his. I mean, kalau mau membuat cerita dengan POV orang pertama, it’s okay to write down some of knowledge in second window; because how else would we know it happened?

image
JENDELA KETIGA adalah bagian dari diri kita yang kita simpan rapat-rapat. Sebetulnya agak futile membuat daftar pertanyaan untuk jendela ini, but I do think there are several questions that would help you start with this window.
  1. Is there anything that you think would make people find you repulsive?
  2. Do you think your life’s influenced by any of your relatives? If so, how? Describe your relationship with them!
  3. How does your friends make you feel?
  4. What crosses your mind most of the times before you go to sleep?
  5. Is there anything in your life you wish you can change? Why, or why not?
Do remember bahwa jendela ketiga ini adalah hal-hal yang sangat personal. Meskipun sweet memories berkontribusi dalam pembangunan karakter, it is said that negative experience gives much fatal effect in people. Jadi, meskipun bukan berarti kalian harus continuously menyiksa karakter (wait I do that), itu akan jadi cara yang gampang untuk mengembangkan jendela ketiga. Ask of their fears, cause that’s how you’ll figure out what makes them happy.

Kalau karakter in question bukanlah pencerita, traces of third window may be reflected through subtle hints from second window. Misalnya pertanyaan [2] di daftar pertanyaan jendela kedua bisa mengindikasikan beberapa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan jendela ketiga.

image
JENDELA KEEMPAT berisi seseorang yang tidak kita ketahui. Perlu bantuan profesional untuk mengetahui apa yang ada di jendela keempat, katanya. It’s something we buried deep, and we don’t even realize we did that. Needless to say, gak ada pertanyaan yang bisa ditanyakan ke karakter-karakter untuk membuka jendela keempat. But you can ask yourself. Kalau kalian menggunakan POV orang ketiga, you can conceal fourth window ke pembaca, but I don’t think that would be entirely fun. I think the purpose of this window is to make him a real imaginary person; no one knows but yourself, the creator; and it is your call whether or not you want to reveal this hidden identity. But if you do, do it wisely.

Although, if you’re clever, I think you can use this as a story. Y’know, katanya orang dengan empati bisa melihat ke dalam jendela keempat lebih baik (tho not clearly) dibanding orang pada umumnya; that can be a plot y’know.

WHAT’S THE PURPOSE OF THIS?
Sama seperti The Strawberry Test, untuk membangun more believable character. Sementara Strawberry Test beranjak dari satu premise–one trait, many questions–Johari window can give you a whole person.

Kemudian, these windows can get wider or smaller, depends on the development of the character. So I think this actually help you to plot, karena dalam perkembangan cerita pasti ada perubahan cara pandang satu karakter ke yang lain (as in question [5] on first window). Jadi setelah membuat daftar traits di setiap jendela, kalian bisa memutuskan apakah trait itu akan berpindah atau enggak.

For example, in WW, Adelfo was a textbook cool character who thought himself (and others do too) of someone distant and detached. (This means, his detachment is on the first window.) But as the story goes by, we found out that he can treat people really gently, and is actually very protective; but he’s not aware of this–which makes these traits penghuni jendela kedua. Apa kita mau membawa traits ini ke first window?–a.k.a. let him know that he’s not as beastly as he thought he is. But where would that lead us? If you decided to do so, would he deny it? And would he FINALLY accept it? AND–this is the big question–would he give in to that trait and express it more freely then? My, WW could be so icky if I want to.

LET’S MAKE THIS EASY.
  • 1st window dipakai untuk membangun dasar-dasar karakter. Kalian mau karakter yang seperti apa? Sweet guy? Cheerful girl? Someone everyone can love? Extremely annoying kind?
  • 2nd window membantu kita membayangkan gerak-gerik karakter. Apa mereka menaikkan alis sebelah kalau sedang curiga? Apa mereka mengusap-usap hidung kalau sedang berpikir? It’s just something that will ease you when making narration, and cause it’s something they naturally do, it gives them more life.
  • 3rd window digunakan untuk memperdalam karakter. Ini, dalam Strawberry Test, adalah bagian questions-and-reasons. Kenapa traits di 1st window bisa muncul? Tapi sedikit bedanya dengan Strawberry Test, mereka aware of those reasons–a.k.a. sifat yang ada di sini diketahui juga oleh mereka, bukan hanya oleh kita yang mengobservasi dan menganalisa alasan-alasan mereka.
Hold on, I can illustrate 1st window to 3rd. Misalnya ketika dihadapkan ke dalam situasi di mana mereka harus bicara di depan umum. Eh sebut saja A. Orang-orang, dan A sendiri, tahu bahwa A kurang suka public speaking. A memasang tampang tegar dan berdiri tegak, tapi teman-temannya sadar kalau tangan A tertangkup dan ibu jarinya tidak berhenti mengusap-usap tangan lainnya. Yang tidak teman-temannya ketahui adalah, A bukan hanya tegang, tapi memang takut karena dia pernah ditertawakan setelah membacakan karangannya di depan kelas waktu masih kecil, dan perasaan di kala itu tidak pernah hilang.
  • 4th window cuma untuk referensi pribadi saja, tapi sebetulnya untuk membuat karakter jendela ini tidak perlu terlalu dipikirkan, kecuali kalau kalian berniat memberitahu isi jendela ini ke karakter atau pembaca.
I’ll try to illustrate. Misalnya, dari cerita di atas, sebetulnya A, sebelum kejadian itu, tidak pernah punya masalah dengan public speaking. Sebenarnya, kalau dilatih dengan baik, A bisa menyampaikan pidato seperti Nelson Mandela.
Nah, kalau kalian mau memindahkan hidden trait ini ke surface, berarti dalam plot kalian harus membuat situasi di mana dia harus overcome his fears, sampai akhirnya dia menemukan kemampuan ini. Dengan begitu, trait di jendela keempat dibawa pergi ke jendela pertama. Ini saja kontribusi jendela keempat. Tapi mungkin kalian bisa menemukan manfaat lainnya dari mengisi jendela ini.

IMPORTANT QUESTIONS:
Saya rasa, di antara semuanya, yang paling perlu kalian pikirkan sebelum menjatuhkan si karakter di tengah-tengah cerita kalian adalah jawaban dari pertanyaan mengenai bagaimana anggota keluarganya memberi pengaruh pada sang karakter, dan bagaimana hubungan mereka. Family plays a big role in real life–its existence or nonexistence alike–dan ini juga berlaku dalam pembangunan karakter. Bahkan setelah environmental change dan perubahan-perubahan yang dibawa dari social interaction lain, hubungan dengan keluarga tetap menempel. Lihat saja Barney Stinson di How I Met Your Mother–meskipun betrayal pacarnya mengubah dia jadi womanizer, ketiadaan ayah dan peran ibunya tetap besar dalam pembangunan karakter beliau.

IS THERE ANYTHING EASY I CAN DO TO HELP ME BUILDING CHARACTERS?
Sure; in sense that kalian gak harus mengikuti petuah-petuah di Strawberry Test maupun Four Windows of Self, tapi kalian tetap harus mencoba mengembangkan karakter-karakter kalian dengan membangun argumen dan reasoning dari setiap trait yang kalian peroleh dari ‘easy way’ ini.
Here’s what I’m suggesting:
  1. Lihat daftar adjectives Johari window. Isinya sangat, sangat basic, dan kalian bisa langsung dapat gambaran general dari satu karakter dari susunan adjecties itu. Kalau kalian gak ketemu daftar adjectives Johari window, cari di kamus juga boleh *bobo* Rule of thumb: pick 5 and mostly 6, terlalu banyak nanti malah bingung dan terlalu sedikit nanti kurang.
  2. Give them birth date. Kenapa? Let me tell you a story… gak usah ding panjang. Intinya, meskipun sekarang saya gak percaya horoscope stuff, personality based on horoscope sangat membantu memudahkan pembangunan karakter. Tinggal dicocokkan saja dengan apa yang dikatakan orang tentang zodiak tertentu; Taurus loves luxury, Gemini super friendly, Leo maha charming, Scorpio gampang tersinggung… And there you have it.
  3. Play some personality quiz. Haha seriously. It can be in-depth personality quiz yang result-nya INTP INTJ dan sebagainya itu, atau cuma main di buzzfeed buat ‘which Glee character are you’ atau sejenisnya. Kalian bisa menyocokkan dengan hasil yang kalian dapat, that’s it. Tapi ingat, in case kalian memutuskan untuk main personaity quiz based on already-made fictional characters, still assert some originality.

And, that’s all! Have fun!




Sumber: http://gingeress.tumblr.com/post/143487544630/tips-building-characters-2-the-four-windows

Tips Membangun Karakter dalam Cerita ala Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

Posted by : Word Sword Studio on :Tuesday, December 5, 2017 With 0comments
Tag : ,

[AUTHOR] Sherina Salsabila

|
Read more »
Foto: Sherina Salsabila, penulis muda dengan beberapa karyanya

Nama Sherina Salsabila mungkin masih belum begitu dikenal oleh kalangan pecinta buku secara umum. Tapi, bagi remaja-remaja yang membaca buku-buku yang diterbitkan pada lini anak dan remaja salah satu penerbit besar, namanya sudah tak asing lagi. Sherina, begitu gadis kelahiran Padang, 29 Oktober 2000 ini disapa, merupakan seorang penulis muda dengan segudang prestasi.
 
Semua bermula ketika masih kecil ia sempat tinggal terpisah dari ibunya. Diceritakan olehnya, sejak lahir ia tinggal di Padang. Ketika kelas 2 atau 3 SD, ibunya memiliki usaha di kota yang berbeda membuat ia harus tinggal terpisah dengan ibu dan adik-adiknya. Ketika itu, Sherina hanya tinggal di Padang dengan ayahnya. Bermula dari kerinduan terhadap sang ibu, Sherina kecil mulai menulis buku harian. Selain berisi curahan hatinya, buku harian itu juga ia tulisi puisi-puisi.
 
Ketika kelas 4 SD, Sherina sekeluarga pindah ke Jakarta. Saat itulah ia mengikuti lomba cerpen pertamanya yang diadakan oleh Tupperware. Cerpennya yang bertajuk Aku dan Siti Sahabat Abjad berhasil menjadi juara ketiga. Kemudian, karyanya dan pemenang lainnya dibukukan dengan judul Aku, Daun, dan Sahabatku. Sejak cerpennya dibukukan, anak pertama dari tiga bersaudara ini jadi berkeinginan untuk memiliki buku sendiri. Saking besarnya keinginan tersebut, rupanya Sherina pernah menutup nama penulis novel-novel koleksi ibunya dengan label kemudian menggantinya dengan namanya sendiri.
 
Gayung bersambut, sebuah tawaran datang saat kelas 1 SMP dari Penerbit Zettu dengan lini anak PACI (Penulis Anak Cerdas Indonesia). Buku pertamanya yang berisi kumcer pun terbit pada 2012 dengan judul Petualangan Hati Jelajahi Pelangi. Apa yang saat itu ditulis olehnya pun mendapat pengaruh dari lingkungan tempat tinggalnya. Ketika ia dan keluarganya pindah ke Jakarta, mereka tinggal di kontrakan padat penduduk dengan beragam latar belakang. Alhasil, tulisannya pun tidak jauh dari tema seputar perbedaan dan persahabatan. Ia juga mengatakan bahwa inspirasi tulisannya berasal dari kehidupan sehari-hari dan pengalaman. Selain mendapat tawaran dari Penerbit Zettu, Sherina juga mendapat tawaran dari Penerbit Noura Books untuk seri Spooky Stories. Ia menulis di seri tersebut selama kurun waktu tahun 2014-2015.
 
Rupanya, Sherina bukanlah remaja yang cepat puas. Pada usia sekitar 14 atau 15 tahun, ia sangat ingin menulis aliran teenlit. Namun editornya saat itu melarang karena pembacanya merupakan anak-anak seusianya. Ia disarankan menulis teenlit pada usia 17 tahun ketika para pembacanya juga berada di kisaran usia yang sama agar membaca cerita yang sesuai umur dan mereka dapat tumbuh kembang bersama. Terkait keinginannya tersebut, pada tahun ini ternyata gadis yang pada Oktober nanti genap berusia 17 tahun itu sudah mendapat tawaran menulis aliran teenlit dari Falcon Publishing.
 
Ditanya mengenai apa yang ia dapatkan dari menulis, remaja yang ditemui pada Minggu (16/4) ini mengaku selain materi berupa royalti, ia juga mendapat banyak relasi. Dari royalti ia dapat membantu kedua orangtuanya, membeli keperluan sendiri, serta membelikan adik-adiknya buku. Pada tahun 2015 pun ia menjadi finalis yang mendapatkan Penghargaan Kebudayaan Kemdikbud katergori anak dan remaja. Penghargaan Kebudayaan itu sendiri merupakan penghargaan yang diberikan oleh Kemdikbud setiap tahun untuk orang-orang yang berdedikasi untuk kebudayaan.
 
Seperti remaja pada umumnya, tentunya Sherina memiliki idola. Dalam dunia tulis menulis, ia menjadikan Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, John Green, dan Lauren Oliver sebagai referensi. Novel yang masih dalam proses di Falcon Publishing pun diakunya berkiblat kepada John Green. Ia juga berharap ke depannya dapat menulis aliran surealis seperti Ziggy dan aliran romance seperti Jakarta Sebelum Pagi yang juga milik Ziggy. Meski begitu, Sherina tidak berniat mengambil jurusan sastra ketika kuliah nanti. Alasannya karena khawatir akan terpaku pada teori saat menulis.
 
Selain menulis buku, Sherina juga pernah menjadi kontributor Majalah Soca pada tahun 2014, mengikuti kompetisi ARKI (Akademi Remaja Kreatif Indonesia) 2015 yang diadakan oleh Penerbit Mizan bekerja sama dengan Kemdikbud, mengikuti lomba wirausaha FIKSI (Festival Inovasi dan Kewirausahaan Siswa Indonesia) yang diadakan oleh Kemdikbud lalu menjadi juara pertama pada kategori rintisan serta mengikuti acara Belajar Bersama Maestro pada tahun 2016, dan mengikuti Forum Pelajar ISUnite (Indonesia Student Unite) pada 2017. Dari ISUnite, Sherina dan teman-temannya membuat organisasi Youth Generation of Tobacco Control yang bergerak dalam permasalahan tembakau.
 
Kemampuan menulis Sherina tak luput dari peran orang tuanya. Ia mengakui bahwa sejak masih kecil, sang ibu sering mendongeng untuknya. Dan meski usianya masih 3 tahun, gadis yang saat ini duduk di bangku kelas 2 SMA 67 Jakarta Timur tersebut sudah dibelikan buku-buku dan majalah. Meski saat itu ia belum bisa membaca dan hanya melihat-lihat gambar, ibunya yang membacakan untuknya. Baginya, peran orang tua memiliki pengaruh yang sangat besar. Hingga saat ini, terhitung Sherina telah menerbitkan 30 buku sejak tahun 2011. Tahun 2013 pun menjadi tahun produktif baginya karena menerbitkan 12 buku. Terlepas dari fakta tersebut, naskahnya tidak selalu diterima penerbit. Ia pernah mendapat penolakan karena nama karakternya sulit disebutkan.
 
Ketika ditemui untuk wawancara, Sherina membawa beberapa karyanya. Buku yang paling terdahulu terbit saat itu berjudul Aku, Daun, dan Sahabatku, sedangkan yang terbaru berjudul The Next Creator, yang merupakan antologi para pemenang ARKI 2015. Buku yang paling berkesan baginya berjudul Mami Kepo dan Berlibur di Rumah Nenek (Penerbit Zettu, 2013). Saat ini, ia tengah mengerjakan proyek buku selanjutnya. Yang akan segera terbit adalah Fantasteen: Mak Tuo (DAR! Mizan) dan sebuah novel yang berencana akan diterbitkan oleh Falcon Publishing dengan judul yang masih dirahasiakan.

[AUTHOR] Sherina Salsabila

Posted by : Word Sword Studio on : With 0comments

[COMMUNITY] 28 Hal Tentang Bookworm yang Kita Semua Alami

|
Read more »
Berikut ini adalah momen-momen yang bikin kalian bilang "Ih, iya banget!". (Karena hanya Penfi yang mengerti *tsaaah)


1. Kita punya fobia yang sama:
Jadi kita beli buku lagi, lagi, dan lagi...
2. Sebuah dilema 
3. Nggak takut buang-buang duit untuk buku
Tinggal makan nasi pake kecap...

4. Agak protektif
Karena mereka seperti anak kita
5. Candu 
6. "Ngapain aja lo akhir-akhir ini?"

7. Apa ada yang menarik di luar sana?
Nggak ada naga, nggak ada sihir, nggak ada spaceship, booooriiiing.....

8. Waktu dicurhatin
ada perfect girls juga di buku lho ;)

9. Penulis itu jahat-jahat

10. Ketika akhirnya ada temen yang teracuni...
11. Kalau ditanya buku favorit
12. Begitu edisi 'terbatas' bersampul kulit keluar
Aaah....
13. NO SPOILER
Kami bisa jadi amat sangat agresif soal ini, sebaiknya kalian vaksin rabies dulu sebelum kasih spoiler...
14. Greget 
15. *nangis*
16. Subyektifitas ini...
or Hell, tergantung bukunya macam apa. 
17. Ketika kewarasan kita dipertanyakan 
dan lagi... 


18. Banyak yang bingung 
 Aneh ya?

19. Lupakan tidur

20. Langsung masuk black-list
21. Calon temen potensial 
22. Duh....


23. Kami Sibuk
 24. Antara kesal dan sedih
25. Komentar paling menyebalkan
26. Karena nonton film dan baca bukunya itu beda 

27. Terutama setelah seri yang panjang
lupa waktu
lupa planet

28. Dan akhirnya.... 
  
 
 
 
 
Sumber: http://portalpnfi.blogspot.co.id/2017/09/28-hal-tentang-bookworm-yang-kita-semua.html

[COMMUNITY] 28 Hal Tentang Bookworm yang Kita Semua Alami

Posted by : Word Sword Studio on : With 0comments
Tag : ,

[SHORT STORY] Originali Bibliotheca

|
Read more »
Oleh: Zoë Peacers


Bekalnya baru habis sepertiga Ia hanya menyentuh makanannya selama 5 menit sebelum terhanyut pada PC tablet di tangan kirinya selama 10 menit terakhir, menekuri informasi di sebuah blog dan keterusan menggeser halamannya. Wajahnya tampak serius.

“Sebentar lagi masuk, Sam. Makanan kamu masih banyak tuh.” Amanda mengingatkan setelah melihat jam yang menggantung tinggi di atas papan tulis.

Dennis mendengus setelah mengintip layar PC tablet Sam sambil menutup kotak bekalnya. “Kamu nggak bosan, ya?” tanyanya seraya memasukkan kotak bekal ke dalam tas lalu mengeluarkan botol minum. “Dengar, kamu pikir kita hidup di zaman apa? Ini abad 25, ilmu pengetahuan dan teknologi adalah segalanya. Tapi, kamu masih percaya mitos?” Dennis menegak minumannya. “Benar-benar nggak masuk akal.”

“Ini bukan mitos,” sanggah Sam sambil menaruh PC tabletnya di meja, berusaha fokus pada makanannya. “Kenapa ada artikel seperti ini? Pasti karena hal ini benar-benar ada, kan? Seenggaknya pernah ada.”

“Itu cuma teori. Nggak, itu cuma dongeng. Bahkan Teori Darwin lebih terasa masuk akal.”

Sam menggeleng pasrah. “Terserah, ya, Tuan Masuk Akal.”

Dennis membenarkan letak kacamatanya. “Manda, kamu percaya?”

“Hm?” Amanda menoleh dengan pipi mengembung menampung air. Setelah menelannya, gadis berambut lurus panjang poni rata itu mengangkat bahu. “Percaya nggak percaya. Gimana, ya… Percaya kalau ada suatu bangunan yang disebut perpustakaan, maksudnya yang berisi buku-buku, maksudnya buku-buku yang katanya terbuat dari kertas, rasanya seperti disuruh percaya dengan keberadaan makhluk raksasa yang disebut dinosaurus. Sejarah bilang mereka ada, tapi kita nggak pernah benar-benar lihat, nggak ada saksi hidup yang relevan untuk menceritakan tentang itu.” Amanda minum lagi.

“Dengar? Amanda yang seorang anggota pustakawan sekolah saja bilang begitu!”

“Itu karena dia pustakawan dari sebuah perpustakaan yang isinya arsip-arsip digital.”

“Tapi, seenggaknya banyak ditemukan fosil yang bisa mendukung teori keberadaan dinosaurus. Nah, coba buku yang dari kertas? Kita bahkan nggak tau kertas itu kayak apa. Katanya dari pohon? Tapi, kita juga nggak tau gimana prosesnya dari pohon bisa jadi benda yang bentuknya lembaran,” sambung Dennis yang didukung anggukan Amanda. “Nggak ada yang bisa membuktikan kalau Perpustakaan Murni itu benar-benar ada, Samudra. Seenggaknya di masa ini.”

“Soal dinosaurus, kalian harus sesekali wisata ke gua bersejarah yang ada lukisan manusia purbanya,” oceh Sam di sela-sela kunyahannya. “Lagian, kalian benar-benar merhatiin pelajaran sejarah nggak? Di pelajaran sejarah jelas-jelas ada materi tentang sejarah tulisan. Piktograf bangsa Sumeria, hieroglif Mesir, serat papyrus cikal bakal kertas, Gutenberg dan mesin cetaknya, …”

“Oke, stop! Kamu mulai lagi dengan obsesi terkait tulisan dan buku—buku kertas. Oke, sejarah mengatakan apa yang kamu cari selama ini ada. Tapi, sejarah juga mengatakan kalau buku kertas punya nasib yang sama kayak dinosaurus, sudah punah. Dan nggak seperti dinosaurus yang meninggalkan fosil, kertas buku cuma meninggalkan cerita. Aku belum pernah baca atau dengar berita ada arkeolog yang menemukan fosil buku atau kertas. Ini mirip UFO dan alien! Sejak berabad-abad lalu dunia sudah mulai membicarakannya. Banyak teori dan cerita dari para saksi tersebar di internet, entah itu benar atau rekayasa. Tapi sampai sekarang nggak ada kepastian apa mereka benar-benar ada.”

Sambil mengunyah dan tangan kanan yang sudah siap dengan satu suapan, tangan kiri Sam kembali merai PC tablet. “Ada yang menarik,” gumamnya. “Blog ini berisi tentang mitos, legenda, cerita rakyat…” Sam memasukan suapan ke mulutnya sambil menyentuh-nyentuh PC tabletnya. “Menurut salah satu artikelnya, di dunia ini ada satu perpustakaan—perpustakaan asli yang berisi buku-buku kertas, bukan rak-rak dengan milyaran arsip digital—yang terakhir. Perpustakaan Murni, satu-satunya yang tersisa di dunia. Coba baca.” Sam mengetuk layar PC tabletnya beberapa kali, kemudian keluar hologram yang menampilkan apa yang ada di layar. Dia menggeser benda elektonik tipis itu lebih dekat kepada Dennis lalu kembali melanjutkan makan.

Dennis mengamati hologram dari PC tablet itu dan membacanya cepat. Setelahnya dia menatap sahabatnya dengan tatapan mengasihani. “Mitos ini, kan, memang sudah lama ada di masyarakat, Sam.”

“Iya, aku tau. Tapi, aku penasaran. Artikel itu terlihat seperti penggalan kisah dari kitab.”

Dennis mengangguk-angguk pasrah. “Ya, terserah, silakan lanjutin pencarian Perpustakaan Murni khayalanmu itu. Tapi, jangan bilang aku nggak mengingatkan kalau kamu cuma mengejar ilusi.”

“Terima kasih peringatannya.” Sam tersenyum sambil membereskan peralatan makannya.

“Sam, di zaman sekarang siapa sih memangnya yang butuh buku atau yang di pelajaran sejarah disebut media cetak, yang fisiknya bisa memberatkan untuk dibawa-bawa saat sudah ada satu benda elektronik tipis yang bisa mengakses segalanya? Sejarah juga sudah menjelaskan sejak abad 22 segalanya berubah digital!” Dennis mengetuk layar PC tablet Sam sehingga hologram tadi menghilang.

“Mungkin nggak ada. Aku juga mungkin nggak butuh. Tapi, aku cuma merasa ingin membuktikan kalau buku kertas dan perpustakaan yang berisi buku kertas itu ada, masih ada. Dan aku merasa yakin kalau Perpustakaan Murni dan buku-buku kertas menyimpan lebih banyak hal, hal yang nggak bisa kita akses dari perpustakaan dan buku-buku yang ada di internet.”

“Misalnya?” Amanda tertarik. Dia menopang dagu dengan salah satu tangan.

“Naskah otentik proklamasi kemerdekaan Indonesia. Yang ditulistangan oleh Presiden Soekarno.”

Dennis menepuk dahi. “Kalau kamu mau lihat, di internet juga ada.”

Sam menggeleng. “Internet bisa diakses siapapun, dimanapun, kapanpun. Sesuatu menjadi berharga karena sulit didapatkan. Yang membuat sebuah tulisan menjadi berharga selain tulisan itu sendiri, adalah benda yang disebut kertas.”

***

Abad 25, sebuah masa di mana teknologi sudah semakin canggih, terutama dalam bidang digital. Di masa ini, tidak ada buku yang terbuat dari lembaran kertas. Semuanya adalah e-book. Dan tempat yang disebut perpustakaan pada masa ini, adalah sebuah ruangan besar yang berisi rak-rak yang meyimpan e-book dalam bentuk compact disk (CD). Meja perpustakaam juga dilengkapi alat pemutar CD, mirip PC tablet, bisa memunculkan layar dalam bentuk hologram.

Pada masa ini, buku yang terbuat dari kertas hanyalah mitos belaka. Sejarah memang menjelaskan bahwa benda tersebut pernah ada di masa lampau. Tapi, tidak ada bukti nyata yang dapat mendukung pernyataan tersebut membuat masyarakat pada masa ini megabaikannya dan menganggapnya sebagai mitos.

Salah satu mitos yang terkenal dan membuat Sam tertarik adalah sebuah cerita tentang keberadaan perpustakaan terakhir. Konon perpustakaan ini adalah satu-satunya yang tersisa di muka bumi, yang menyimpan buku-buku dalam bentuk aslinya. Buku-buku yang terbuat dari kertas. Mitos ini mengatakan bahwa perpustakaan tersebut berada di sebuah pulau terpencil di utara. Orang-orang menyebutnya Perpustakaan Murni.

***

Sudah lama Sam memperhatikan anak perempuan itu. Mungkin ada setahun, sejak masih di kelas 10. Duduk paling belakang, di pojok dekat jendela, membuat Sam harus menoleh ke kiri belakang hanya untuk melihatnya. Anak perempuan itu sedang melihat ke luar jendela. Penampilannya memang cukup menarik perhatian, anak itu selalu memakai jubah bertudung di luar seragam sekolahnya. Sejak masuk di kelas 10 pun anak itu tidak pernah melepas tudung dari kepalanya. Pernah ada yang bertanya, tapi anak itu mengaku cahaya matahari dan kesehatannya memiliki hubungan yang buruk.

Amanda memajukan tubuhnya, menopang kepala dengan satu tangan sambil tersenyum jahil, tangan kanannya yang bebas melambai kepada Sam. Anak laki-laki itu terkejut ketika Amanda menghalangi pandangannya. Di sampingnya, Dennis juga memajukan tubuh sambil menaruh kedua tangan di atas meja.

“Jadi, cuma seorang Sevira Norterina yang bisa mengalihkan seorang Samudra Javasean dari obsesinya terhadap Perpustakaan Murni,” gumam Dennis sedikit sinis.

“Sssttt! Apaan sih?!” Sam menoleh cepat kepada Dennis. Rasanya dia ingin menjahit mulut sahabatnya itu.

Amanda melirik sekilas teman sebangkunya dengan senyum sebelum mengambil tasnya dan pindah ke bangku di depan meja Sam dan Dennis. “Dia cukup pendiam dan nggak banyak berinteraksi dengan anak-anak lainnya. Aku kalau ngobrol sama dia saja cuma seperlunya. Memang tertutup, sih, anaknya.” bisik Amanda. “Tapi, kadang aku tetap suka ajak dia kalau mau ke mana. Meski banyak ditolaknya.”

“Kayaknya bakal susah deketin dia. Sabar ya, sobat. Kisah cintamu di SMA mungkin nggak akan berjalan mulus.” Dennis manggut-manggut sambil menepuk pundak Sam, mengasihani.

“Apa, sih…” Sam menepis tangan Dennis dari pundaknya. “Jadi ke perpustakaan nggak?” Pertanyaan Sam dijawab dengan anggukan oleh kedua temannya.

Amanda berjalan kembali ke bangkunya. Kelas mulai kosong, tapi Sevira masih betah di bangkunya, tidak ada tanda-tanda persiapan pulang. Entah apa yang dia amati di luar sana dari sudut itu.

“Kami mau ke perpustakaan. Mau ikut?” ajak Amanda.

Sam memelototi Amanda. Yang dipelototi tidak peduli.

Sevira menoleh, matanya berbinar-binar. “Perpustakaan?”

***

Selagi Sam, Dennis, dan Amanda menelusuri rak-rak, Sevira hanya terdiam kikuk di salah satu meja. Gadis itu hanya menatap lurus ke arah pemutar CD di meja. Tidak lama kemudian, ketiga orang itu kembali dengan membawa beberapa kotak CD.

“Sevira, tolong putar ini,” ujar Dennis menggeser beberapa tumpukan kotak CD ke arah Sevira. Dari posisinya memang gadis pendiam itu yang paling dekat dengan pemutar.

Sevira membuka kotak CD, setelahnya terdiam semakin kikuk.

“Kamu kenapa?” tanya Amanda.

Sam melirik Sevira dari balik PC tabletnya. Sebenarnya, yang ada keperluan adalah Dennis. Tapi, sebagai teman yang baik, Sam dan Amanda membantu. Jika tidak begitu, setidaknya menemani.

“Saya… nggak tau cara menggunakannya.”

Si Kacamata, Si Poni, dan Si Maniak Buku Kertas-Perpustakaan Murni terdiam. Dennis mengatupkan mulutnya yang terbuka karena tidak percaya.

“Hah?!” Hanya itu yang berhasil Dennis keluarkan.

Sam menyimpan PC tabletnya, berdiri dan beralih ke sebelah Sevira.

“Kamu tinggal tekan tombol ini agar terbuka. Simpan CD-nya di situ. Tutup. CD-nya akan otomatis terputar. Sekarang tinggal alihkan ke mode hologram.” Sam berniat kembali ke tempatnya semula di samping Dennis setelah membantu Sevira.

“Caranya gimana?”

Sam mendadak berhenti bergerak.

“Sevira, kamu berasal dari zaman batu, ya?” tanya Dennis terang-terangan, membuat Amanda memelototinya.

“Maaf, saya cuma nggak terbiasa. Cuma pernah sekali ke sini, waktu baru masuk pas kelas 10.” Sevira tertunduk.

“Hah?!”

“Sudah, nggak apa-apa. Gampang, kok. Ketuk dua kali di layarnya, tuh hologramnya keluar kan.” Kali ini Amanda yang membantu.

Sam sudah kembali ke tempatnya. “Tuh, Den, kerjain tugasmu sana.” Sam menunjuk hologram yang sudah tampil dengan dagunya.

“Omongan Dennis nggak usah dimasukin ke hati, ya? Dia nggak sejahat itu, kok.” Amanda membisiki Sevira. Gadis pendiam itu hanya mengangguk.

Baru 30 menit, Sevira memutuskan pulang duluan karena dia sendiri bingung apa yang ingin dilakukannya di tempat itu. Yang lain pun tidak keberatan karena tidak enak juga gadis itu hanya diam dan melamun.

Dennis meregangkan tubuhnya setelah 10 menit kepergian Sevira. “Dia itu gaptek, ya?”

“Nggak boleh gitu, Dennis. Jangan mentang-mentang anak olimpiade komputer, deh,” gumam Sam yang masih fokus pada layar PC tabletnya.

“Iya, yang naksir, sih, ngebelain. Eh, itu masa lalu, ya, di kelas 10. Sekarang olimpiade ma-te-ma-ti-ka! Tapi, serius, dia nggak bisa masang CD ke pemutarnya?”

Amanda mengedikkan bahu. “Aku nggak terlalu tau, ya. Tapi kalau kuperhatikan, waktu memakai PC tabletnya sendiri di kelas, dia kayak kebingungan gitu.”

“Dia asalnya dari mana, sih?” tanya Dennis lagi. “Gaya bicaranya juga aneh, pakai ‘saya’.”

“Katanya sih dia dari luar Jakarta, mmm… luar pulau Jawa! Tapi nggak tau dari mana,” jawab Amanda.

***

“Duluan, sana duluan!!!” Sam mengusir Dennis—Amanda jadi ikut terbawa—karena terus menentang rasa penasarannya terhadap keberadaan Perpustakaan Murni beserta buku-buku kertas.

“Kelas sudah kosong, lho. Sekolah juga sudah sepi. Kamu nggak apa-apa pulang sendirian?” Amanda mengingatkan.

“Nggak apa-apa, kalian duluan saja. Mumpung wifi gratis, nih.”

Dennis membawa tasnya dan berdiri. “Ya sudah, aku sama Amanda duluan, ya! Awas kekunci di sekolah!”

“Duluan, Sam!” tambah Amanda.

Sam terus berkutat dengan PC tabletnya hingga baterai benda itu lemah. Saat melihat jam di atas papan tulis, sudah hampir pukul lima sore rupanya. Sam mematikan PC tablet dan membereskan tasnya. Sebelum meninggalkan kelas, ia melihat ke luar jendela. Matanya membelalak begitu menemukan satpam mulai menarik gerbang sekolah, bersiap menguncinya. Sam langsung berlari meninggalkan kelasnya. Ia bergegas menuruni tangga. Tepat setelah anak tangga terakhir, saat akan berbelok, tiba-tiba saja sesuatu menghantamnya dengan keras. Sam terjatuh, sesuatu yang menghantamnya terjatuh.

Saat itulah mata Sam menangkap sesuatu di lantai. Sebuah buku yang terbuat dari kertas, tergeletak di antaranya dan seseorang di sana. Mata Sam terbelalak sekali lagi. Ia melihat benda yang selama ini hanya ditemukannya di internet.

“BUKU! ITU BUKU DARI KERTAS, KAN?!” Masih dalam posisinya yang tersungkur Sam menunjuk-unjuk benda yang tak begitu jauh darinya. Kemudian matanya menangkap siluet lain yang sedang berusaha berdiri sambil merapikan tudung di kepalanya.

“Sevira …?”

Sevira yang menyadari barangnya terjatuh segera meraih buku tersebut secepat kilat, mendekapnya di dalam jubah coklatnya yang sangat menarik perhatian. Setelah itu, Sevira segera berlari cepat, meninggalkan Sam begitu saja.

“Sevira, tunggu!!!”

Sam bangkit dan segera mengejar Sevira. Sayangnya, sampai di gerbang ia tidak menemukan siapapun. Dan gerbang sudah dikunci.

***

Sam hanya memandangi sup jagung yang ia beli seharga lima ribu rupiah di kantin dengan tatapan memelas.

“Dimakan, Sam. Dingin nggak enak,” suruh Amanda yang bakso tahunya sudah habis setengah.

“Amanda… kamu percaya aku, kan? KAMU PERCAYA AKU, KAN, KALAU AKU MEMANG MELIHAT BUKU YANG TERBUAT DARI KERTAS! PERCAYA, KAN?! PERCAYA, KAN, KALAU BENDA ITU MEMANG ADA?!” pekik Sam tiba-tiba. Sambil mengguncang-guncangkan bahu Amanda.

Amanda hanya mengangguk-angguk sambil berjengit mundur karena ngeri, Sam membuatnya terpojok di tembok. Meja yang mereka tempati memang yang dekat tembok.

“Percaya, kan, Manda?! Percaya aku, kan?!”

Dennis bangkit dari tempatnya di hadapan Amanda, meninggalkan batagornya yang hampir habis. Ia memposisikan diri di belakang Sam yang memojokkan Amanda lalu menariknya menjauh dari gadis poni yang terlihat tidak nyaman itu.

“Kamu pindah! Aku nggak mau Manda ketularan halusinasi kamu itu!” Dennis menarik Sam agar duduk di tempatnya sementara ia sendiri pindah ke bangku sebelahnya. Membuat Sam yang kini duduk berhadap-hadapan dengan Amanda. Tak lupa, Dennis menarik batagornya dan menaruh sup jagung Sam di depan pemiliknya.

“Itu bukan buku kali, tas kecil semacam pouch yang bentuknya kayak buku saja?”

“Amanda….. aku lihat sendiri pakai mataku. Buku itu terbuka, lembarannya terlihat—Ah, ya ampun, aku sudah berapa kali bilang, sih? Kalian masih saja nggak percaya!” Sam menepuk keningnya. “Dan Sevira sudah seminggu menghilang. Nggak masuk sekolah. Pasti ada hubungannya dengan kejadian itu!”

“Mungkin dia sakit. Dia kan musuhan sama matahari, bisa jadi lagi parah.” Dennis berpendapat.

“Nggak, dia menghilang, pasti ada sesuatu. Aku mau cari tau rumahnya, di mana dia tinggal, berasal dari mana dia. Ini mencurigakan.”

“Kok, ya, punya sahabat, tuh, hobinya ngurusin hal misterius,” Dennis mengeluh. “Manda, kamu, kan teman sebangkunya. Masa nggak tau dia ke mana?” sambungnya.

Amanda menggeleng. Sam mendesah dan mulai memakan sup jagungnya.

“Kok, aku ngerasa teringat sesuatu, ya?” Sam kembali berpikir, ia terhenti makan sup jagung karena merogoh ponselnya. Ia berkutat dengan ponselnya lalu membiarkannya di atas meja selagi menunggu koneksi sambil kembali makan.

Batagor Dennis sudah habis, Bakso tahu Amanda hampir habis. Sam kembali berkutat dengan ponselnya.

“Cepetan, ah! Bentar lagi bel, nih…” seru Dennis.

“Sebentar, sebentar. Menurut mitos, Perpustakaan Murni itu berada di sebuah pulau terpencil di utara. Dan mitos ini nggak cuma beredar di Indonesia. Lihat, artikel berbahasa asing juga ada yang mengulas mitos ini.” Sam menunjukkan ponselnya kepada Dennis dan Amanda.

“Originali Bibliotheca?” baca Amanda.

“Itu penyebutan internasional untuk Perpustakaan Murni,” jelas Sam lalu menarik ponselnya dari hadapan Amanda.

“Terus, di mana hubungannya Sevira Norterina sama Originali Bibliotheca?” tanya Dennis.

“Hmm… Tunggu, tunggu, rasanya nggak asing. Sevira… Sevira… Oh! Sebira! Atau Sabira! Kalian tau Pulau Sebira? Atau Pulau Sabira? Yang mana saja sama. Tapi, kalian tau, kan? Pasti itu! Pasti itu!” Sam memekik seperti baru dijatuhi wahyu dari Tuhan.

“Itu salah satu pulau di kepulauan seribu. Terus, kenapa?” ujar Dennis datar.

“Oke, gini. Pulau Sebira itu salah satu pulau di kepulauan seribu yang terletak paling utara. Ini sesuai dengan mitos yang bilang kalau Perpustakaan Murni itu terletak di sebuah pulau di utara. Dan kepulauan seribu itu, kan, pulaunya kecil-kecil. Pulau Sebira udah kecil, paling jauh juga di utara, cocok kalau disebut pulau terpencil di utara. Ya, kan?”

“Iya, terus—”

“Terus, hubungannya sama Sevira, coba perhatiin namanya, Sevira… Sebira… mirip kan? Dan nama belakangnya Norterina? Waktu zaman kolonial Belanda, pulau itu dijuluki Noord Wachter yang artinya Penjaga Utara—ya, karena letaknya. Perhatiin lagi, Noterina… norter… mungkin dari NOoRd wachTER? Atau Norter dari nort, north! Pokoknya nama belakangnya berhubungan sama utara! Nggak salah lagi, Sevira pasti berasal dari Pulau Sebira!”

“Imajinasimu luas banget, sih!” Dennis melotot.

“Aku yakin, Perpustakaan Murni itu pasti benar-benar ada! Dan pasti itu ada di sana, di Pulau Sebira, sebuah pulau terpencil di utara! Sevira berasal dari pulau itu, makanya dia punya buku dari kertas karena perpustakaan benar-benar ada di sana!”

“Terus, kamu mau apa?” timpal Amanda.

“Aku mau ke sana!”

“HAH?!” Dennis dan Amanda berseru berbarengan.

“Gila, ya, kamu? Tau sendiri Pulau Sebira itu paling utara Kepulauan Seribu. Malah lebih dekat dari Bangka Belitung, lho! Bisa berjam-jam ke sana! Mau naik apa?!” cerocos Amanda.

***

Subuh-subuh ketiganya sudah berada di pelabuhan Muara Angke. Para petualang, penjelajah, atau pedagang yang menggunakan kapal mungkin sudah berulang kali mengatakan bahwa samudra adalah tempat yang tak terduga, dan Samudra yang ini memang benar-benar tak terduga. Dennis dan Amanda sudah berusaha keras melarang sahabat mereka melakukan perjalanan gila ini. Meski begitu, sejam yang lalu keduanya mendapat telepon dari Sam yang mengatakan sedang bersiap untuk pergi. Sontak, panggilan itu membuat nyawa keduanya yang masih belum kembali langsung merasuki raga yang masih dirundung kantuk.

“Aku nggak minta kalian ikut, kok,” ujar Sam.

“Jangan gila, deh, Sam!” bentak Dennis. “Kalau kamu bukan sahabatku, aku sih bakal langsung seret kamu ke RSJ pas kita ketemu tadi.” Dennis melihat Amanda di sampingnya yang menggigil karena hembusan angin laut. “Kamu jangan ikut! Aku ikut cuma buat mastiin kalau sahabatku memang tolol!” Meski Dennis sangat menentang rasa penasaran Sam terhadap yang satu ini, tetap saja ia tidak bisa membiarkan sahabatnya pergi sendiri.

“Nggak! Aku tetap ikut! Bahkan kalau kamu nggak ikut, aku bakal tetap ikut Sam! Lagian Sevira teman sebangkuku, aku juga penasaran.”

“Oke, oke, ingat baik-baik, jadi aku di sini karena dua alasan. Yang pertama, untuk memastikan ketololan sahabatku yang laki-laki. Yang kedua, untuk menjaga sahabatku yang perempuan. Kalau dua alasan itu hilang, aku bakal lompat ke Laut Jawa dan berenang kembali ke sini.”

“Omong-omong kita naik apa ke sana?” Amanda ingat Sam belum membahas soal transportasi.

Sam melihat sekitar sampai akhirnya menemukan sesuatu. “Ah, itu dia! Ayo, kita akan menumpang perahu nelayan!”

“Hah?! Ya, mungkin para penjelajah itu benar, samudra bukanlah sesuatu yang baik,” Dennis mendesah. Ia dan Amanda mau tidak mau mengikuti Sam.

***

Mereka sampai saat matahari hampir tenggelam. Nelayan yang memberi tumpangan merupakan nelayan dari Pulau Harapan dan akan menjemput mereka esok hari.

“Jadi kita berkemah di pinggir pantai?” Dennis baru saja menurunkan bawaannya. Mereka membawa barang dan perbekalan selayaknya untuk berkemah.

“Nggak, kita jalan terus, kalau sudah malam baru berkemah.” Sam berjalan memasuki pulau.

“Oke.” Dennis kembali memakai tasnya dengan benar dan mengikuti Sam.

Mereka terus berjalan ke arah utara. Menurut Sam, jika pulaunya dikatakan berada di utara, pasti begitu juga dengan perpustakaannya. Langit semakin gelap hingga matahari akhirnya tenggelam di barat, tapi Sam belum berkeinginan untuk istirahat.

“Eh, berhenti!” seru Amanda yang jalan paling belakang. “Kayaknya kita sudah lewat sini tiga kali deh?” ia menunjuk sebuah bidang tanah bertuliskan ‘hello’. “Aku yang menulis itu tadi, 15 menitan yang lalu. Dan bentuk tangkai di sana, aku sudah lihat dua kali sebelumnya.” Kemudian ia menunjuk sebuah tangkai di sebuah pohon.

“Hah?! Jadi dua jam kita jalan dari tadi cuma mutar-mutar di tempat yang sama?!” protes Dennis.

“Kayaknya, sih, gitu,” lirih Amanda.

“Tapi, kompasnya nggak berubah kok dari tadi,” Sam menggoyang-goyangkan kompas di tangannya. “Lihat, utara tetap ke sana, kan?”

“Aku capek! Pengen istirahat dulu,” Amanda bersandar pada sebuah pohon.

Sam melihat arloji. “Baru juga jam delapanan. Nanti sajalah.”

“Kamu yakin mau lanjut? Ini sudah gelap lho. Dan dari tadi kita mungkin diisengin sama penunggu di sini.”

“Sejak kapan seorang Tuan Masuk Akal percaya hal nggak masuk akal?” ledek Sam membuat Dennis merengut kesal. “Sudahlah kita jalan dulu saja sampai ketemu tempat yang enak buat pasang tenda.”

Mereka kembali berjalan sampai akhirnya menemukan tanah lapang untuk membangun tenda. Setelah beristirahat sambil memakan perbekalan, tadinya Sam ingin kembali melihat-lihat sekitar—meski bilang sekitar yang dia maksud tentu saja arah utara—tapi Dennis melarangnya karena malam semakin gelap dan bulan tertutup awan. Pukul sepuluh Dennis menyuruh semuanya beristirahat agar bisa bangun pagi-pagi untuk melanjutkan perjalanan.

Saking antusianya Sam pada pencarian ini, ia kesulitan tidur. Ia dapat mendengar sendiri dengkuran halus Dennis dan napas tenang Amanda menandakan kedua sobatnya itu sudah terjun ke alam lain. Akhirnya Sam memutuskan keluar tenda, berpikir angin malam bisa membuatnya mengantuk. Ia menghangatkan diri di perapian. Kemudian angin berhembus, Sam melihat ke arah utara. Dalam pandangannya, tanamanan di kiri dan kanan jalan setapak di sana membuka jalan. Sam merasa terpikat. Ia menggeleng-geleng dan memukul-mukul wajahnya, menyadarkan diri dari ilusi.

Amanda terbangun ketika mendengar suara ranting patah. Tidak menemukan Sam di dalam tenda, gadis itu pun keluar. Ia melihat Sam berjalan ke arah utara.

“SAM!” panggilnya. “SAMUDRA!” Sam tidak menggubrisnya.

Cepat-cepat Amanda kembali ke tenda untuk membangunkan Dennis. “Dennis, Dennis bangun! Cepat bangun!”

“Hmm??” bukannya bangun, Dennis malah berbalik membelakangi Amanda.

“Ih, Dennis! Banguuuuuuuunnnnnnnnn!!!!!! Sam pergi ke arah utara lagi!!!” Amanda menarik Dennis, berusaha membuatnya terduduk.

“Udah gede, biarinin aja.” Dennis mengigau, matanya masih terpejam. Ia hampir merebahkan tubuhnya lagi jika saja Amanda tak menahannya.

“Ih, Dennis! Sam, nggak nyahut panggilan aku! Kalau dia kenapa-kenapa gimana?!”

Barulah saat itu mata Dennis terbelalak. “HAH?!” ia meraih kacamata di atas tasnya dan memakainya cepat. “Apa?! Sam?!”

Keduanya cepat-cepat keluar tenda. Dennis mendekati jalan setapak ke arah utara. Tidak terlihat sesosok manusia di sana. “SAM!” panggilnya. “SAMUDRA!” tidak ada jawaban.

***

Sam terus menelusuri jalan setapak itu. Ia merasa alam mengarahkannya ke suatu tempat. Seolah kakinya bergerak sendiri tanpa ia inginkan, seperti tahu harus ke mana. Setelah cukup jauh, Sam baru merasakan pegal pada kakinya. Ia jatuh berlutut. Saat menatap ke depan, matanya melebar.

Sebuah bangunan yang tampak sudah kuno. Sangat besar dan tingi, berwarna krem, memiliki banyak pilar. Penampakan bangunan di hadapannya membuatnya melongo.

“Mungkinkah ini perpustakaan itu?” gumam Sam. Ia bangkit dan menaiki anak tangga untuk mencapai teras. Setelah menekuri pintu besar di hadapannya beberapa saat, Sam mendorongnya pelan-pelan.

***

“Sam ke mana sih?!” Amanda jongkok dan bersandar di sebuah pohon. Selagi Dennis menyorot area sekitar dengan senter, gadis itu duduk di akar-akar yang mencuat. Keduanya meninggalkan kemah hanya dengan bawaan seadanya. Dua buah senter dan satu botol minum.

“Aku berusaha nyari jejak sepatu di tanah, nih,” ujar Dennis.

Bosan dan lelah, Amanda mengorek tanah dengan ranting. Lama kelamaan, tanah itu membentuk lubang dan mulai menampakkan sesuatu. Amanda terus menggali hingga akhirnya benda tersebut terlihat utuh. “Dennis lihat!” pekiknya. Amanda menarik benda dari galiannya. “Ini buku, kan?! Buku cetak! Dari kertas!”

Dennis menghampiri Amanda dengan ekspresi tak percaya. Ia merebut buku tersebut. “Ini yang selama ini Sam cari?! Benda ini sungguhan ada?!”

“Bisa jadi! Pasti di sekitar sini masih ada yang terkubur. Ayo cari!” Amanda mulai mencari daerah galian lainnya.

***

Di hadapannya terhampar ruangan luas dengan langit-langit yang tinggi, dihiasi lampu kristal yang digantung tinggi bersinar terang. Ada beberapa lantai ke atas. Rak-rak tinggi dan besar memenuhi ruangan itu. Bukan arsip-arsip digital seperti perpustakaan yang selama ini sering ia lihat, melainkan buku-buku cetak yang terbuat dari kertas. Mitos itu terhampar nyata di hadapannya.

“Hallooooo …..???” sapa Sam. “Ada orang?” Sam menelusuri ruangan itu, memastikan setiap pojok apakah ada yang dapat ditemuinya.

Di suatu sudut ia menemukan sesuatu, atau seseorang, membelakanginya menghadap ke jendela. Rambut emasnya bergelombang mencapai punggung. Gaun putih orang itu berada hingga bawah lutut. Di sekitarnya berserakan buku-buku.

“Hai, permisi …” sapa Sam.

Makhluk itu berbalik, menaruh sembarang buku yang sedang dipegangnya ke atas tumpukan yang lain, menatap Sam datar seolah tak terkejut kediamannya diganggu. “Samudra?”

“Sevira?!” pekik Sam. Lalu matanya teralih pada telinga Sevira. Telinga itu runcing di bagian ujung atasnya. “Telinga kamu …”

“Oh, ini.” Sevira menyentuh telinganya.

“Itu, kan, telinga peri! Sevira, kamu peri?! Kamu manusia peri?! Semacam elf?! Seperti Legolas di Lord of The Rings?! Iya?!” Sam heboh. “Jadi, selama ini kamu pakai jubah bertudung untuk menutupi rambut emas dan telinga runcingmu?”

Sevira masih terdiam. Sam melihat sekitar hingga kembali menatap Sevira. “Itu, itu komik versi cetak?!” Tunjuknya pada buku-buku di sekitar Sevira.

“Ternyata kamu berhasil datang ke sini.”

“Ini, ini membingungkan buatku. Tolong jelaskan semua ini,” pinta Sam.

Sevira melangkah mendekati Sam, membiarkan buku-buku komik berserakan. Ia sedang tak ingin membereskannya. Ia melewati Sam dan memilih salah satu kursi perpustakaan untuk duduk. Sam mengikutinya. “Akan saya ceritakan suatu kisah …

“Kamu tahu, 4 abad yang lalu, abad 21, saat teknologi berkembang dengan pesat, saat itu hampir semua hal yang ada di dunia ini perlahan-lahan beralih ke dalam bentuk digital. Hampir merata di seluruh dunia, perkembangannya pesat. 100 tahun setelah itu teknologi benar-benar semakin canggih, merata di seluruh dunia karena Asosiasi Desa Global—organisasi dunia yang bergerak dalam bidang virtual—bekerjasama dengan pemerintah seluruh negara di dunia untuk melakukan digitalisasi, terutama dalam bidang buku dan ilmu pengetahuan. Semua diakses secara digital. Terlebih lagi karena orang-orang pun mulai beralih ke digital, penerbit serta percetakan dan toko buku banyak yang mengalami kebangkrutan. Banyak buku yang tertimbun di gudang mereka akhirnya dibakar karena tidak laku meski sudah diskon besar-besaran. Sejak itu sampai pada abad 23, buku-buku cetak, yang terbuat dari kertas mengalami kelangkaan, sangat sulit didapatkan.

“Melihat krisis ini, Thoth mengambil tindakan dan mengumpulkan semua buku cetak yang tersisa dan menciptakan Perpustakaan Murni di sini. Maksudnya perpustakaan yang benar-benar perpustakaan seperti pada mulanya. Berisi buku-buku fisik yang dapat disentuh. Dia lalu meminta saya untuk menjadi penjaga tempat ini. Cerita pun menyebar dari orang-orang yang memang sangat mencintai buku, beratus tahun kemudian menjadi sebuah mitos.”

“Tunggu, Thoth yang kamu maksud itu dewa menulis dan ilmu pengetahuan Mesir? Dia yang sudah menulis ribuan buku dan merupakan pelindung bagi semua juru tulis? Dan kamu ini, peri penunggu Pulau Sebira? Kamu berasal dari sini?”

Sevira mengangguk. “Dia menciptakan perpustakaan itu di sini. Dengan sihirnya, tidak sembarang orang bisa menemukan tempat ini. Tapi kamu bisa.”

“Jadi, aku bukan orang sembarangan?”

“Kamu tahu? Keajaiban hanya bekerja kepada mereka yang mempercayainya. Kamu begitu percaya pada keberadaan buku dan perpustakaan—dalam bentuk aslinya—di saat dunia nggak percaya. Mungkin karena itu Thoth berbaik hati mengizinkanmu menemukan tempat ini.”

“Sebenarnya aku ke pulau ini bersama Dennis dan Amanda. Dan tadi, sebelum kami mendirikan tenda, kami sempat memutari tempat yang sama sampai tiga kali. Padahal terus berjalan ke utara. Kenapa?”

“Mereka nggak percaya, kan? Mungkin itu salah satu cara Thoth melindungi wilayah ini. Mungkin, ya, saya nggak begitu kenal Thoth. Kami berhubungan seperlunya saja. Tapi, akhirnya kamu bisa ke sini tanpa mereka. Alam pasti juga telah membimbing kamu.”

Pintu kembali terbuka, Dennis dan Amanda jatuh berlutut sambil melepaskan begitu saja buku-buku yang mereka temukan ke lantai.

“Apapun, siapapun, terserah, aku capek. Jelasin semua ini!!!” pekik Dennis.

“Habis…” Amanda menggulirkan botol air mineral setelah meneguk habis isinya.

Sam segera membantu Dennis dan Amanda. Setelah itu ia menjelaskan ulang kepada mereka apa yang telah Sevira jelaskan. Dennis dan Amanda tampak tidak percaya.

“Waktu Amanda ajak saya ke perpustakaan, saya kira dia ngajak ke tempat seperti ini, saya masih berharap tempat itu masih ada di dunia. Tapi ternyata perpustakaan sekolah yang sudah didigitalisasi. Karena itu saya nggak terbiasa menggunakan teknologi. Sejak dunia diciptakan saya ada di sini, menjadi peri penjaga Pulau Sebira. Ketika Thoth meminta saya menjaga perpustakaan ini, dia meminta saya sesekali berbaur dengan manusia dan melaporkan perkembangan kepadanya. Sudah 300 tahun saya menjaga tempat ini. Tapi, saya tetap nggak terbiasa. Saya baru sadar, ikut-ikutan kekinian rupanya sulit juga.”

“Terus waktu Sam bilang tabrakan sama kamu itu, benda yang jatuh itu benar buku?” tanya Dennis.

Sevira mengangguk. “Saya suka bawa salah satu buku koleksi di sini ke sekolah, karena kadang saya bosan. Waktu itu setelah bel pulang saya ke halaman belakang untuk menghabiskan waktu dengan membaca. Bosan kalau di pulau ini. Terus lupa waktu, jadinya terburu-buru karena takut dikunciin Pak Satpam. Jadinya, tabrakan sama Sam. Bukunya jatuh karena saya nggak sempat masukin ke tas.”

“Sekarang kalian percaya, kan sama semua ini? Semua hal yang aku cari nggak sia-sia atau ilusi semata, kan? Perpustakaan Murni itu ada! Originali Biliotheca itu nyata! Dan terletak di Indonesia!” desak Sam pada Dennis dan Amanda.

Amanda hanya mengamati sekitar karena merasa terpana. Dennis garuk-garuk kepala, membuat rambutnya berantakan.

“Aku masih setengah percaya. Ini pasti mimpi! Ini, ini di luar akal banget!”

“Buku-buku yang kami temukan, kenapa bisa terkubur begitu?” tanya Amanda.

Sevira melihat buku-buku yang dibawa Dennis dan Amanda masih tergeletak di depan pintu. “Oh, saya kadang suka baca-baca di hutan sekitar. Dan kadang meletakkan buku sembarangan. Yang terkubur itu pasti sudah belasan atau puluhan tahun lalu saya bacanya. Thoth nggak keberatan. Lagipula, dengan kalian yang menemukan semua buku itu, itu membuat kalian seenggaknya sedikit percaya dan akhirnya bisa menemukan tempat ini, kan?

“Dan sebenarnya, Perpustakaan Murni nggak cuma berada di Indonesia. Originali Bibliotheca ada satu di setiap negara. Thoth yang menciptakan semua itu. Semuanya memiliki penjaga. 100 tahun sekali kami mengadakan pertemuan yang dipimpin oleh Thoth.”

“HAH?! Benar-benar gila!”

“Serius?!”

“Jadi, yang terakhir dan satu-satunya tersisa itu maksudnya terakhir tersisa di setiap negara?!”

Sevira mengangguk.

“Ini, ini luar biasa! Ini keren banget! Dunia harus tau!” seru Sam. “Tapi keberadaannya benar-benar tersembunyi karena dilindungi kekuatan Thoth, ya? Gimana, ya, supaya banyak yang bisa melihat sendiri perpustakaan ini?”

“Entahlah. Hanya Thoth yang memiliki wewenang. Jika dia mau, dia bisa saja melepaskan sihirnya sehingga siapapun yang datang ke pulau ini bisa menemukan perpustakaan ini.”

“Kamu nggak tau caranya?” tanya Amanda.

Sevira menggeleng. “Yang saya tau, keajaiban dan hal-hal di luar kuasa manusia lainnya hanya bekerja kepada mereka yang mempercayainya.”

[SHORT STORY] Originali Bibliotheca

Posted by : Word Sword Studio on : With 0comments
Next Prev
▲Top▲